Res Cogitans
Desember terus mengalir sampai di akhir tahun
Usia terus merentang di antara pikiran yang berkabut
Andai waktu bisa berjeda atau direka ulang
Barangkali, aku memilih terus di sampingmu
Di kepalaku, elegi itu terus memeras syarafku
Doa di atas sajadahmu
Membentang jadi karpet tapak kakiku
Bukan lagi pundakmu yang membawaku
Menuju rumah
Di perjalanan yang begitu panjang.
Di antara kesendirian, sepi, dan duka
Dirimu, sesekali hadir
Menggengam tanganku
Di sisa umurku, acap kali permintaanmu
Aku seka dengan air mata
Beberapa pertanyaan
Ingin sekali kulontarkan padamu
“Apakah aku boleh menolak permintaanmu?”
Semua serasa hening, sedangkan di luar sana, sedang ripuh
Mempersiapkan hidangan, jamuan pernikahan. Itukan keinginanmu, jauh hari.
Sebelum, kamu masih bisa memelekku.
Maaf, pernikahan hari ini. Bukan pestaku.
Aku belum bisa menghidangkan jawaban
Atas keinginan terakhirmu.
Tubuhmu Puisi
Ayah, tubuhmu sehimpun puisi
Di hari yang basah
Derai rindu yang menitik
Sepanjang perjalanan
Antara Dramaga dan Bulukumba
Masih ada pigura kebahagiaan
Tawa, Canda, pekelahian di antara kita
Di kepalaku, aku masih bisa menggigit tubuhmu
Memotong kukumu.
Satu lagi, kita masih punya waktu
Bakar-bakar ikan kesukaanmu.
Gaji pertamaku, kusimpan untuk pesta kita berdua.
Aku ingin melihat ayah makan begitu lahap.
Kebahagiaan yang menggaung di benakku
Membanting kepalaku ke dalam dasar kesedihan
Yang kamu kenal, kepala batu, kesedihan menyala dalam kegelapan
Di depanku, ada tubuhmu berjuang menungguku kehadiranku.
Sakit seluruh tubuh kau lawan.
Seolah doa-doamu, dan permintaan kepada malaikat maut.
Menunda kematianmu.
Tangan yang tak sanggup kau angkat, kamu raih kepalaku.
“Kamu sudah pulang, nak, bagaimana kuliahmu?”
Kujawab dengan terbata-bata. “Sebentar lagi, saya sudah Sidkom”
Tanganmu kembali mencari tanganku, engkau jabat dengan erat.
Seolah tidak ingin kau lepaskan.
Doamu masih sama. Mengantarku pada rumah pengetahuan.
Ayah, tubuhmu puisi.
Di langit magrib kota Bulukumba, rintik hujan yang sendu
Langit kota begitu muram
Kita akhirnya pulang. Ayah sudah tidak sakit lagi.
Sudah tenang. Meski, Ayah juga tahu
Perpisahan selalu menyisakan kegetiran.
Biarkan kita saling mengikhlaskan
Biarkan aku menjaga ibu di sisa usianya.